Beberapa
hari yang lalu, saya mengupdate status facebook saya. Isinya kayak gini:
‘Anak saya
yang bungsu, umur 2 tahun. Hobinya nonton sinetron “Putri Bidadari”.
Anak saya
yang sulung, umur 5 tahun. Hobinya nonton sinetron “Kutunggu Kau Di Pasar
Minggu”
Saya, umur
27 tahun, hobinya nonton ‘Saint Seiya*”.
Kedengarannya
lucu, tapi sebenarnya agak memiriskan hati juga. Masih umur 5 tahun tontonannya
malah sinetron dewasa yang temanya gak pernah lari dari pertentangan antara
cinta dan harta, penindasan si kaya terhadap miskin, atau remaja-remaja necis yang hobi pamer kekayaan. Hanya sedikit
stasiun tv yang menyiarkan acara anak-anak yang memang pantas untuk ditonton
oleh anak-anak. Untuk yang berlangganan tv kabel memang ada beragam pilihan
tontonan, tapi buat yang enggak? Buat mereka yang hanya bisa nonton siaran
lokal, tidak ada pilihan lain selain nonton sinetron striping. Saya ingat
sekali tontonan-tontonan saya waktu kecil; Si Komo, Unyil, atau produk-produk
impor kayak Doraemon, Saint Seiya, Ksatria Baja Hitam. Siaran-siaran ini,
walaupun ceritanya sederhana namun punya nilai moral yang jauh lebih tinggi
ketimbang sinetron.
Bukan hanya
soal tontonan, tapi soal musik juga. Perasaan saya aja, atau sekarang memang sudah
gak ada lagi penyanyi cilik? Dulu saya kecil nyanyinya, “abang tukang bakso, mari-mari
sini, saya mau beli..”; anak-anak sekarang? “namaku cinta, ketika kita
bersama...dst.” Apa gak kepagian anak-anak umur 5 tahunan nyanyi soal cinta? Dimana
lagu tentang penggembala sapi, naik delman, tukang bakso, nyamuk nakal, lumba-lumba,
heli?
Yah.. mudah-mudahan
industri film dan musik negeri ini bisa mulai memperhatikan generasi kecil
indonesia. Untuk saat ini, pintar-pintar orang tuanya ajalah menyaring apa yang
anak-anak mereka dengar dan lihat.
No comments:
Post a Comment